INTUISI.ID – Filsuf Yunani kuno, Socrates, dikenal dengan pemikiran kritisnya yang sering disampaikan dalam bentuk ironi, baik itu soal kehidupan, hingga sesuatu hal sakral seperti pernikahan.
Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah bahwa baik menikah maupun tidak menikah, seseorang tetap akan menghadapi kepahitan.
“Pahit untuk menikah, pahit untuk tidak menikah, tetapi bagaimanapun juga, kamu akan menyesalinya.”
Pernyataan ini mencerminkan pandangan Socrates bahwa dalam hidup tidak ada pilihan yang benar-benar bebas dari konsekuensi.
Menikah berarti menghadapi tantangan dalam hubungan, tanggung jawab, serta berbagai kompromi.
Sementara itu, tetap melajang juga bukan tanpa kesulitan, seperti rasa kesepian atau kehilangan pengalaman hidup tertentu.
Namun, Socrates tidak hanya melihat sisi pahit dari pernikahan. Ia juga menyampaikan pandangan positif pernikahan bisa menjadi jalan untuk belajar dan berkembang.
Dalam pemikirannya, hubungan antara suami dan istri merupakan bagian dari proses pembentukan karakter seseorang.
Ia pernah berkata; “Menikahlah. Jika mendapatkan istri yang baik, kamu akan menjadi bahagia; jika mendapatkan istri yang buruk, kamu akan menjadi filsuf.”
Pernyataan ini menegaskan, baik dalam kebahagiaan maupun dalam kesulitan, seseorang selalu bisa mengambil pelajaran berharga.
Jika hidup dalam pernikahan yang harmonis, seseorang akan merasakan kebahagiaan dan dukungan. Namun, jika menghadapi kesulitan dalam pernikahan, justru itu bisa menjadi pemicu untuk berpikir lebih dalam tentang kehidupan, sebagaimana yang dialami Socrates sendiri dalam pernikahannya dengan Xanthippe.
Dalam pandangan yang lebih luas, Socrates meyakini bahwa interaksi sosial, termasuk dalam pernikahan, adalah bagian dari pencarian kebijaksanaan.
Dalam Apologi, salah satu karya yang mendokumentasikan pemikirannya, ia menekankan pentingnya gnothi seauton atau “kenali dirimu sendiri”.
Pernikahan, dengan segala dinamikanya, bisa menjadi salah satu cara seseorang memahami dirinya lebih dalam.