INTUISI.ID – ASEPHI (Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia) bersama IPPRISIA (Ikatan Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pelestarian Baju Adat Kutai” di Tenggarong, Kalimantan Timur.
Acara ini bertujuan untuk melestarikan kekayaan budaya Kutai melalui pakaian tradisional, sekaligus memperkenalkannya kepada generasi muda dan masyarakat luas.
Baju adat Kutai memiliki beragam jenis dan fungsi yang berbeda-beda dalam upacara adat serta acara penting lainnya.
Salah satu contohnya adalah Baju Anta Kusuma, yang dikenal sebagai Kutai Kuning.
Baju ini dulunya hanya dikenakan oleh bangsawan sebagai pakaian kebesaran pengantin kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Dengan warna dasar kuning dan aksesoris keemasan, baju ini melambangkan kebesaran kerajaan serta memadukan elemen budaya dari berbagai daerah, seperti Cina, Arab, Bugis, dan Palembang.
Jenis baju adat lainnya adalah Baju Takwo, yang terdiri dari beberapa variasi, seperti Takwo Biasa, Takwo Kustim, dan Takwo Setempik.
Baju Takwo, yang mirip dengan jas tertutup dengan leher tinggi, dulunya dikenakan oleh bangsawan atau penari dalam upacara adat, tetapi kini dapat dipakai oleh masyarakat umum, terutama sebagai pakaian pengantin.
Baju ini terbuat dari kain katun, linen, atau beludru dan dihiasi dengan kain jelapah serta ornamen keemasan.
FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk desainer, pengrajin, serta perwakilan pemerintah daerah.
Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah, yang turut hadir dalam acara ini, menyatakan pentingnya pelestarian baju adat sebagai identitas budaya daerah.
“Baju adat Kutai, seperti Baju Miskat, adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Ini adalah identitas kita sebagai masyarakat Kutai yang kaya akan tradisi dan sejarah,” ujar Edi.
Dalam FGD ini, para peserta berdiskusi tentang cara-cara melestarikan dan mempromosikan baju adat Kutai.
Mereka juga membahas pentingnya inovasi dalam desain pakaian tradisional agar tetap relevan dan menarik bagi generasi muda.
Beberapa usulan yang muncul antara lain adalah penggunaan baju adat dalam acara-acara resmi dan festival budaya, serta kerjasama dengan sekolah-sekolah untuk memperkenalkan pakaian tradisional kepada siswa.
ASEPHI dan IPPRISIA berharap FGD ini dapat menjadi langkah awal dalam upaya pelestarian budaya dan meningkatkan apresiasi terhadap baju adat Kutai.
“Kami ingin baju adat Kutai tidak hanya dikenang sebagai warisan masa lalu, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia,” kata ketua ASEPHI, dalam sambutannya.
Dengan adanya kegiatan seperti ini, diharapkan generasi muda akan semakin mengenal dan mencintai warisan budaya mereka sendiri, serta berperan aktif dalam melestarikan tradisi yang kaya dan beragam ini.