SAYA mempunyai prinsip: Islam adalah cara saya bagaimana saya merespons dunia, bukan bagaimana saya ingin dunia merespons saya.
Prinsip itu menurut saya penting karena banyak muslim yang ingin diperlakukan istimewa hanya karena mereka muslim. Padahal, menjadi muslim bukan berarti minta diistimewakan.
Contoh tergampang adalah saat bulan puasa. Banyak muslim yang minta dihormati puasanya. Minta agar warung-warung untuk tutup. Padahal kewajiban menjadi muslim itu memang berpuasa saat Ramadan, kenapa orang lain yang disuruh repot?
Perintah berpuasa itu adalah perintah untuk muslim agar berpuasa, bukan perintah kepada orang lain agar menutup warungnya.
Kita yang muslim di Indonesia, sangat terbiasa “dimanjakan” karena menjadi mayoritas. Tentu, dalam banyak hal, keadaan itu saya syukuri karena itu mempermudah ibadah saya. Namun, kita harus tetap menyadari bahwa keadaan tidak harus selalu senyaman itu.
Misal saat kita jalan-jalan di mal, kita terbiasa ada musala. Misal saat kita ada acara seminar, kita terbiasa ada break untuk salat. Bahkan saat bulan Ramadan, kita terbiasa jam kerja kantor dikurangi. Namun, apakah harus seperti itu? Tentu sebenarnya ya tidak harus begitu.
Kita harus tetap punya cara untuk menjadi muslim yang baik meski keadaan tidak menyamankan kita sebagai muslim.
Menjadi muslim adalah bagaimana kita menyikapi keadaan. Bukan menuntut keadaan.
Di tulisan ini, saya mau buat contoh. Misal saya ikut sebuah travel wisata ke negara Jepang, dan semua peserta rombongannya non-muslim kecuali saya. Apakah saya harus memaksa pihak travel untuk “hanya makan di restoran halal”? Tentu tidak.
Ke manapun rombongan makan, saya yang harus bisa “merespons” kondisi yang ada. Bukan menuntut orang lain memahami saya.
Misal restoran tujuan makan rombongan ternyata tidak halal, ya sudah, kewajiban saya adalah: tidak ikut makan. Sesimpel itu.
Contoh respons saya adalah: saya menyiapkan bekal sendiri dari hotel pakai nasi dan telur. Yang jelas, bukan kewajiban orang lain untuk “mengistimewakan saya” hanya karena saya muslim.
Saya tidak berhak mengatur orang lain hanya karena saya muslim. Namun sebaliknya, saya sendiri yang harus merespons keadaan yang ada.
Termasuk waktu salat. Apakah rombongan harus mengantar saya ke masjid setiap kali saya perlu salat? Tentu tidak. Saya tetap akan bisa salat di manapun saya berada dan bagaimanapun keadaannya.
Entah sedang di dalam bus, entah sedang di tempat wisata, atau di manapun, saya tetap akan bisa salat tanpa harus menuntut orang lain “mengondisikan” agar saya bisa salat. Salat adalah kewajiban saya sebagai muslim. Bukan kewajiban orang lain.
Islam adalah cara saya untuk bisa melakukan salat, meski di dalam bus yang berjalan, bukan meminta rombongan berhenti agar saya untuk bisa salat.
Islam adalah cara saya untuk tidak makan suguhan tuan rumah yang tidak halal, bukan meminta tuan rumah untuk memberi suguhan yang halal ke saya.
Islam adalah cara saya menahan lapar dan dahaga saat Ramadan, bukan memaksa warung-warung untuk tidak berjualan.
Islam adalah cara saya bagaimana saya merespon dunia, bukan bagaimana saya ingin dunia merespon saya.
Mamuju, 25 November 2025
H. Makdoem Ibrahim




