KITA sering mengidolakan seseorang sebagai panutan. Tetapi ketika satu tindakannya tidak sesuai harapan, kita langsung meradang, seolah keteladanan yang kita bayangkan runtuh seketika.
Padahal hidup adalah soal pilihan, termasuk memilih sisi mana yang ingin kita kenang dari seseorang: pencapaiannya yang menginspirasi, atau kekurangannya yang membuatnya tampak jatuh di mata kita.
Ambil contoh Diego Maradona. Kita bisa memilih mengingatnya sebagai pencipta “Gol Tangan Tuhan”, ketika ia dengan sadar melakukan kecurangan di Piala Dunia 1986. Ia merayakan kecurangan itu, wasit mengesahkannya, dan rakyat Inggris tentu punya alasan kuat untuk mengingat sisi buruk tersebut. Gol curang Maradona membuat tim Inggris tersingkir.
Namun dunia lebih memilih untuk mengingat gol keduanya pada pertandingan yang sama, gol yang sering disebut sebagai salah satu yang terbaik dalam sejarah sepak bola. Maradona menggiring bola melewati lima atau enam pemain Inggris dengan kelincahan dan kontrol yang nyaris tak masuk akal. Pada momen itu, ia tampil sebagai seorang jenius sepak bola.
Satu pertandingan, dua sisi: sebuah kesalahan dan sebuah kejayaan. Lalu, yang mana yang ingin kita kenang?
Mungkin yang keliru bukan Maradona, tetapi cara kita membingkai kebesaran seorang panutan. Kita kerap lupa bahwa mereka juga manusia, memiliki potensi untuk tergelincir, sekaligus kemampuan untuk bangkit dan menciptakan kebaikan.
Itu sebabnya salah satu tafsir terhadap firman Allah QS Baqarah: 222 “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus-menerus bertaubat”—adalah bahwa Allah menyukai hamba yang pernah melakukan kesalahan, tetapi tidak berhenti kembali, yang taubatnya berulang-ulang karena ia sadar bahwa dirinya manusia yang mudah jatuh tetapi tak pernah menyerah untuk bangkit.
Dengan kata lain, kebesaran itu bukan milik yang tidak pernah salah, tetapi milik mereka yang tidak berhenti memperbaiki diri.
H. Makdoem Ibrahim




